Sejarah perubahan Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah


2.1 Sejarah perubahan Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah dari tahun 1957 sampai dengan sekarang.

A.    UU No. 5 Tahun 1974
Dalam kerangka struktur sentralisasi kekuasaan politik dan otoritas administrasi, UU No.5 tahun 1974 yang mengatur tentang pokok-pokok Pemerintahan Daerah dibentuk. UU ini telah meletakkan dasar-dasar sistem hubungan pusat-daerah yang dirangkum dalam tiga prinsip, yaitu:
a.       Desentralisasi, yaitu penyerahan urusan pemerintahan dari pemerintah atau daerah tingkat atasnya kepada daerah
b.      Dekonsentrasi, yaitu, pelimpahan wewenang dari pemerintah atau kepala wilayah atau kepala instansi vertikal tingkat atasnya kepada pejabat-pejabat di daerah
c.       Tugas perbantuan (medebewind), yaitu pengkoordinasian prinsip  desentralisasi dan dekonsentrasi oleh kepala daerah, yang memiliki fungsi ganda sebagai penguasa tunggal di daerah dan wakil pemerintah pusat di daerah.
Akibat dari prinsip-prinsip tersebut, maka dikenal dengan adanya daerah otonom dan wilayah administratif.
Meskipun harus diakui bahwa UU No.5/1974 adalah suatu komitmen politik, namun dalam praktek yang terjadi adalah sentralisasi yang dominan dalam perencanaan maupun implementasi pembangunan Indonesia. Salah satu fenomena yang paling menonjol dari hubungan antara sistem Pemda dengan pembangunan adalah ketergantungan Pemda yang tinggi terhadap pemerintah pusat.
Ada beberapa karakteristik yang sangat menonjol dari prinsip penyelenggaraan Pemda menurut UU ini:
Wilayah negara dibagi ke dalam Daerah besar dan kecil yang bersifat otonom atau administratif saja. Sekalipun tidak ada perbedaan yang tegas di antara keduanya, tetapi kenyataannya sebuah wilayah pemerintahan mempunyai dua kedudukan sekaligus, yaitu sebagai Daerah Otonom yang berpemerintahan sendiri dan sebagai Wilayah Administratif yang merupakan representasi dari kepentingan Pemerintah Pusat yang ada di Daerah.
Pemda diselenggarakan secara bertingkat, yaitu Dati I, Dati II sebagai Daerah Otonom, dan kenudian Wilayah Administatif berupa Propinsi, Kabupaten/Kotamadya, dan Kecamatan.
DPRD baik Tingkat I maupun II dan Kotamadya merupakan bagian dari Pemda. Prisip ini baru pertama kali dalam sejarah perjalanan Pemda di Indonesia karena pada umumnya DPRD terpisah dari Pemda.
Peranan Mendagri dalam penyelenggaraan Pemda dapat dikatakan bersifat sangat eksesif atau berlebihan yang diwujudkan dengan melakukan pembinaan langsung terhadap Daerah.
UU ini memberikan tempat yang sangat terhormat dan sangat kuat kepada Kepala Wilayah ketimbang kepada Kepala Daerah. Keuangan Daerah, sebagaimana umumnya dengan UU terdahulu, diatur secara umum saja. UU No.5/1974 meninggalkan prinsip “otonomi yang riil dan seluas-luasnya” dan diganti dengan prinsip ”otonomi yang nyata dan bertanggung jawab”
B.     UU No. 22 Tahun 1999
UU No.22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah ditetapkan pada 7 Mei 1999 dan berlaku efektif sejak tahun 2000. Undang-undang ini dibuat untuk memenuhi tuntutan reformasi, yaitu mewujudkan suatu Indonesia baru, Indonesia yang lebih demokratis, lebih adil, dan lebih sejahtera.
UU No.22 tahun 1999 membawa perubahan yang sangat fundamental mengenai mekanisme hubungan antara Pemerintah Daerah dengan Pemerintah Pusat. Perubahan yang jelas adalah mengenai pengawasan terhadap Daerah. Pada masa lampau , semua Perda dan keputusan kepala daerah harus disahkan oleh pemerintah yang lebih tingkatannya, seperti Mendagri untuk pembuatan Perda Provinsi/ Daerah Tingkat I, Gubernur Kepala Daerah mengesahkan Perda Kabupaten/ Daerah Tingkat II.
Dengan berlakunya UU No.22 tahun 1999, Daerah hanya diwajibkan melaporkan saja kepada pemerintah di Jakarta. Namun, pemerintah dapat membatalkan semua Perda yang bertentangan dengan kepentingan umum atau dengna peraturan puerundangan yang lebih tinggi tingkatannya atau peraturan perundangan yang lain. (Pasal 114 ayat 1).
Ada beberapa ciri khas yang menonjol dari UU ini:
1.      Demokrasi dan Demikratisasi, diperlihatkan dalam dua hal, yaitu mengenai rekrutmen pejabat Pemda dan yang menyangkut proses legislasi di daerah.
2.      Mendekatkan pemerintah dengan rakyat, titik berat otonomi daerah diletakkan kepada Daerah Kabupaten dan Kota, bukan kepada Daerah Propinsi.
3.      Sistem otonomi luas dan nyata, Pemda berwenang melakukan apa saja yang menyangkut penyelenggaraan pemerintah, kecuali 5 hal yaitu yang berhubungan dengan kebijaksanaan-kebijaksanaan politik luar negeri, pertahanan dan keamanan negara, moneter, sistem peradilan, dan agama.
4.      Tidak menggunakan sistem otonomi bertingkat, Daerah-daerah pada tingkat yang lebih rendah menyelenggarakan urusan yang bersifat residual, yaitu yang tidak diselenggarakan oleh Pemda yang lebih tinggi tingkatannya.
5.      No mandate without founding, penyelenggaraan tugas pemerintah di Daerh harus dibiayai dari dana Anggaran Belanja dan Pendapatan Negara.
6.      Penguatan rakyat melalui DPRD, penguatan tersebut baik dalam proses rekrutmen politik lokal, ataupun dalam pembuatan kebijakan publik di Daerah.
C.     UU No. 32 Tahun 2004
Dengan diundangkannya UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, pada tanggal 15 Oktober 2004, UU No.22 tahun 1999 dinyatakan tidak berlaku lagi. Sebenarnya antara kedua undang-undang tersebut tidak ada perbedaan prinsip karena keduanya sama-sama menganut asas desentralisasi. Pemerintah Daerah berhak mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonnomi dan tugas pembantuan. Otonomi yang luas, nyata, dan bertanggung jawab.
UU No.32 tahun 2004 mengatur hal-hal tentang; pembentukan daerah dan kawasan khusus, pembagian urusan pemerintahan, penyelenggaraan pemerintahan, kepegawaian daerah, perda dan peraturan kepala daerah, perencanaan pembangunan daerah, keuangan daerah, kerja sama dan penyelesaian perselisihan, kawasan perkotaan, desa, pembinaan dan pengawasan, pertimbangan dalamkebijakan otonomi daerah.
Menurut UU No.32 tahun 2004 ini, negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus dan istimewa. Sehubungan dengan daerah yang bersifat khusus dan istimewa ini, kita mengenal adanya beberapa bentuk pemerintahan yang lain, seperti DKI Jakarta, DI Aceh, DI Yogyakarta, dan provinsi-provinsi di Papua.
Bagi daerah-daerah ini secara prinsip tetap diberlakukan sama dengan daerah-daerah lain. Hanya saja dengan pertimbangan tertentu, kepada daerah-daerah tersebut, dapat diberikan wewenang khusus yang diatur dengan undang-undang. Jadi, bagi daerah  yang bersifat khusus dan istimewa, secara umum berlaku UU No.32 tahun 2004 dan dapat juga diatur dengan UU tersendiri.
Ada perubahan yang cukup signifikan untuk mewujudkan kedudukan sebagai mitra sejajar antara kepala derah dan DPRD yaitu  kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat dan DPRD hanya berwenang meminta laporan keterangan pertanggung jawaban dari kepala daerah.
Di daerah perkotaan, bentuk pemerintahan terendah disebut “kelurahan”. Desa yang ada di Kabupaten/Kota secara bertahap dapat diubah atau disesuaikan statusnya menjadi kelurahan sesuai usul dan prakarsa pemerintah desa, bersama Badan Permusyawaratan Desa yang ditetapkan dengan perda. Desa menjadi kelurahan tidak seketika berubah dengan adanya pembentukan kota, begitu pula desa yang berada di perkotaan dalam pemerintahan kabupaten.
UU No.32/2004 mengakui otonomi yang dimiliki desa ataupun dengan sebutan lain. Otonomi desa dijalankan bersama-sama oleh pemerintah desa dan badan pernusyawaratan desa sebagai perwujudan demokrasi.

2.2 Sejarah Pemerintahan Desa dan Uraian Perubahan UU mengenai Pemerintahan Desa

A.    OTONOMI DAERAH
UU 22 tahun 1999 dan UU 32 tahun 2004 meletakkan substansi otonomi daerah dalam hubungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah bertujuan demokratisasi sistem pemerintahan, meningkatkan pelayanan publik dan meningkatkan kepercayaan masyarakat melalui tata kepemerintahan yang lebih cepat tanggap, akuntabel dan transparan melalui penyerahan bagian tugas pemerintah pusat yang sebaiknya menjadi tugas pemerintah daerah dan menahan selebihnya. PP 38/2007 membagi wewenang pemerintah pusat dan pemda berdasar kriteria eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi.
Dalam upaya meningkatkan derajat UU otonomi daerah – yang dalam kenyataan- masih bersifat nominal (diterapkan secara tebang pilih, yang diterapkan sebagian dan/atau yang bertentangan dengan UU) dan yang masih bersifat semantik (sekadar jargon, yang masih digunakan sebagai sekadar sarana pidato politik) menjadi sebuah konstitusi bersifat normatif yang diterapkan dan dipatuhi secara paripurna, KSAP membangun pertanggungjawaban berbasis akuntansi & laporan keuangan.
Sebagai sebuah produk per-undang-undangan, PP 71/2010 tentang standar akuntansi pemerintahan dibentuk untuk mencipta keadilan akuntansi, mencipta ketertiban dan akuntabilitas keuangan berbentuk LK, memberi manfaat transparansi keuangan bagi publik. Keadilan akuntansi adalah upaya mitigasi risiko sistem politik berbentuk kekuasaan eksekutif terlampau besar, membangun keseimbangan kekuasaan dengan pertanggungjawaban keuangan negara antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, menghapus disharmoni APBN dan APBD, kepatutan keadilan alokasi dana APBN dan APBD berbasis aspirasi rakyat, sementara audit LK akan menguji kewajaran pertanggungjawaban akuntansi dan pelaporan LK pemerintahan.
Karena itu PP 71/2010 bertujuan membangun nilai luhur ketertiban kuasa anggaran dan perbendaharaan bersifat akuntabel, transparan dan demokratis, mencipta iklim keuangan negara nan aman, damai, adil bagi kesejahteraan dan kebahagiaan rakyat banyak.
UUD menentukan bahwa entitas NKRI terbagi menjadi entitas daerah provinsi, entitas provinsi terbagi menjadi beberapa entitas kabupaten dan kota. Entitas daerah provinsi, kabupaten dan kota mengatur dan mengurus sendiri sesuai UU otonomi daerah dan tugas perbantuan melalui pembentukan peraturan daerah, masing-masing membentuk DPRD mandiri dengan anggota DPRD dan kepala pemerintahan daerah yang terpilih secara demokratis melalui pemilihan umum daerah, sehingga layak disebut entitas pelaporan LK.
UU 6 tahun 2014 tentang Desa menggambarkan itikad negara untuk mengotomikan desa, dengan berbagai kemandirian pemerintahan desa seperti pemilihan umum calon pemimpin desa, anggaran desa, semacam DPRD desa, dan kemandirian pembuatan peraturan desa semacam perda, menyebabkan daerah otonomi NKRI menjadi provinsi, kabupaten atau kota, dan desa. Reformasi telah mencapai akarnya, kesadaran konstitusi desa dan dusun diramalkan akan mendorong proses reformasi berbasis otonomi daerah bersifat hakiki.
Dalam buku berjudul Hukum Konstitusi dan Konsep Otonomi, Kajian Politik Hukum tentang Konstitusi, otonomi Daerah dan Desa Pasca Perubahan Konstitusi karangan Dr. Didik Sukriono, S.H,M.H., Beliau menguraikan bahwa UU 13/2003, UU 1/2004, UU 15/2004, UU 32/2004 dan UU 33/2004 menimbulkan berbagai wacana keterbatasan kemampuan DPRD membentuk RPJMD, ketidak konsistenan RPJMD dan APBD, wacana mis-alokasi anggaran, eforia perda tentang pajak dan pungutan daerah dan pembatalannya oleh Mendagri, wacana disekitar dana dekonsentrasi dan dan tugas pembantuan, lalu PP 7/2008 diterbitkan untuk mengatasi dua isu terakhir tersebut. Permendagri 24 tahun 2006 mendorong pelayanan terpadu bertujuan agar layanan pemda makin baik, murah, cepat dan sederhana, namun dihambat keterbatasan anggaran pemda, standar pelayanan minimum belum tersusun, keterbatasan kesadaran dan kemampuan berakuntabilitas, prosedur layanan berbelit-belit, kekurangan SDM dan koordinasi pemda dengan pemangku kepentingan.
UU 32/2004 menampilkan Peraturan Daerah, Peraturan Kepala Daerah dan Keputusan Kepala Daerah. Peraturan Daerah mencakupi beban penduduk (pajak, retribusi dll), pembatasan kekebasan penduduk dan hak penduduk, serta pengaturan lain sesuai perundang-undangan NKRI
Reformasi membawa perubahan, pemekaran berkelanjutan daerah otonom telah menunjukkan gejala berlebihan dalam bentuk keinginan berpisah dan separatisme kedaerahan berciri eforia pemekaran lanjutan berbagai pemerintah daerah sedemikian rupa kecilnya sehingga mengurangi daya ekonomi setiap pemerintahan daerah, meningkatnya biaya birokrasi dan rentang alokasi APBN, penurunan skala ekonomi (economies of scale) yang menyebabkan Indonesia memasuki era ekonomi mahal (diseconomies), penurunan pelayanan publik, penurunan daya saing negara, berpotensi separatisme ekstrim berupa penolakan menjadi bagian NKRI, berkonsekuensi bahwa PP 71/2010 harus diterapkan oleh setiap daerah otonom yang baru.
B.     SEJARAH PEMERINTAHAN DESA
Sejak ribuan tahun lalu, sebuah masyarakat beradat-istiadat khusus membentuk sebuah masyarakat berkepemerintahan otonom, siap berperang dengan masyakarat ekslusif lain, sering disebut oleh para antropolog sebagai suku-asli, tribe dan otonomi asli. UU 6/2014 tentang Desa mengangkat kembali otonomi desa berbasis jati diri desa, mengakomodasi keanekaragaman & keunikan budaya tiap desa, didalam sebuah negara kesatuan Republik Indonesia.
Secara struktural, organisasi negara mengatur kepemerintahan hanya sampai tingkat kecamatan, sehingga organ di bawah kecamatan diklasifikasi sebagai organ masyarakat, sehingga masyarakat desa disebut sebagai masyarakat yang mengatur dirinya sendiri dan mendirikan pemerintahan desa yang mengatur dirinya sendiri sebagai sebuah otoritas lokal bertaraf desa, pada Perubahan UUD 1945 Pasal 18 B disebut sebagai otonomi khusus yang mendapat pengakuan dan penghormatan sebagai masyarakat hukum adat yang sesuai prinsip NKRI.
Dr. Didik Sukriono, S.H,M.H. selanjutnya menjelaskan bahwa pada pemerintahan penjajahan Belanda, Regenringsreglement (RR) Pasal 71 tahun 1854 mengatur pengesahan/pemilihan kepala desa dan pemerintah desa, memberi hak desa mengatur/mengurus rumah tangga desa sendiri.
Pada pemerintahan penjajahan Jepang, Osamu Seirei No 7/2604 (tahun 1944) mengatur pemilihan/pemberhentian kepala desa bersebutan Kuco. UU 1/ 1945 menempatkan desa sebagai otonomi terbawah, berhak mengatur kepemerintahan desa sendiri.
UU 22/1948 memberi perlindungan eksistensi desa sebagai sebuah masyarakat memiliki asal-usul khas dan berhak mengaturdan mengurus pemerintahan desa sendiri, dan dengan sebutan desa (di pulau Jawa dan Bali), desa negeri, nagari (di Minangkabau), negeri, kota kecil negeri, mukim, huta, sosor, kampung, dusun atau marga (di Palembang), mukim, desa, gampong (pada pemerintahan Aceh) dan sebutan lain sebagai Daerah otonom Tingkat III.
UU 1/1957 membadi daerah otonom menjadi daerah otonom biasa dan daerah swapraja. UU 19/1965 melakukan penyeragaman desapraja dan pembentukan daerah tingkat III.
TAP MPR IV/MPR/1978 tentang GBHN berisi rencana memperkuat pemerintahan desa agar semakin mampu menggerakkan masyarakat desa berpartisipasi dalam pembangunan NKRI dan mampu menyelenggarakan administrasi kepemerintahan desa yang efektif, melalui sebuah UU tentang Peemerintahan Desa.
UU 5/1979 adalah sebuah upaya menghapus otonomi desa, menyeragamkan nama, bentuk, susunan dan kedudukan pemerintahan desa sebagai sebuah kepemerintahan adminsitratif. Desa berada dibawah kecamatan, kepala desa dibawah camat yang melakukan kepemerintahan vertikal.
Iklim reformasi melahirkan UU 22 /1999 yang berupaya mengutamakan pengalihan pengaturan desa dari tingkat nasional menuju tingkat daerah, dari birokrasi ke institusi masyarakat lokal, memberi pengakuan keunikan dan keanekaragaman desa atau dengan nama lain sebagai masyarakat berkepemerintahan sendiri & mandiri sebagai pengejawantahan istilah “ istimewa” pada Pasal 18 UUD 1945. Desa adalah subsistem dan sebuah kepemerintahan yang diatur oleh kabupaten melalui perda. Sebagai subsistem kabupaten, tak seberapa jelas apakah desa berada di dalam rumah tangga kabupaten atau di luar rumah tangga kabupaten. Untuk membangun kepemerintahan mandiri berbasis demokrasi, UU menampilkan Badan Perwakilan Desa (BPD)
UU 32/2004 menyatakan bahwa desa adalah subyek hukum, negara mengakui desa sebagai kesatuan masyarakat hukum berdasar sejarah asal-usul dan adat istiadat. Desa adalah self governing community berdaulat dan berbasis musyawarah, bukan entitas otonom yang disebut local self government seperti halnya kabupaten. Pada sisi lain, desa ditempatkan di dalam pemerintahan kabupaten/kota. UU sekali lagi berupaya mempertegas otonomi desa, mengubah istilah BPD menjadi Badan Permusyawaratan Desa, setara MPR NKRI.
Sejak beberapa tahun terakhir sebelum awal tahun 2014, tertengarai upaya pemerintah meningkatkan Peraturan Pemerintah RI Nomor 72 tahun 2005 tentang desa, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 28 tahun 2006 tentang Pembentukan, Penghapusan, Penggabungan Desa dan Perubahan Status Desa menjadi Kelurahan, serta Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 tahun 2006 tentang Pedoman Pembentukan dan Mekanisme Penyusunan Peraturan Desa, menjadi sebuah UU 6 tahun 2014 tentang Desa dengan berbagai perubahan mendasar, disahkan DPR pada hari Rabu tanggal 18 Desember 2013 dan diundangkan pada 15 Januari 2014.
Sesungguhnya, dalam sejarah pengaturan Desa, telah ditetapkan beberapa pengaturan tentang Desa, yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pokok Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965 tentang Desa Praja Sebagai Bentuk Peralihan Untuk Mempercepat Terwujudnya Daerah Tingkat III di Seluruh Wilayah Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dan terakhir dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, bertransformasi menjadi UU 6 tahun 2014 tentang Desa yang diundangkan pada 15 Januari 2014.
Falsafah Bhineka Tunggal Ika menguat tatkala UU 6 tahun 2014 mengakui dan melindungi keaneka ragaman adat istiadat, UU Desa secara eksplisit bermaksud melestarikan adat cq budaya asli sebagai kebhinekaan yang menyatu dibawah peraturan perUUan NKRI. UU 6 tahun 2014 tentang desa mengatur desa atau sebutan lain, desa adat atau sebutan lain, serta secara ringan mengatur dusun. Undang-Undang 6 tahun 2014 mengatur materi mengenai Asas Pengaturan Desa, Kedudukan Desa dan Jenis Desa, Penataan Desa, Kewenangan Desa, Penyelenggaraan Pemerintahan Desa, Hak dan Kewajiban Desa dan Masyarakat Desa, Peraturan Desa, Keuangan Desa dan Aset Desa, Pembangunan Desa dan Pembangunan Kawasan Perdesaan, Badan Usaha Milik Desa, Kerja Sama Desa, Lembaga Kemasyarakatan Desa dan Lembaga Adat Desa, serta Pembinaan dan Pengawasan. Selain itu, Undang-Undang ini juga mengatur dengan ketentuan khusus yang hanya berlaku untuk Desa Adat.
Dengan konstruksi menggabungkan fungsi self-governing community dengan local self government, diharapkan kesatuan masyarakat hukum adat yang selama ini merupakan bagian dari wilayah Desa, ditata sedemikian rupa menjadi Desa dan Desa Adat. Desa dan Desa Adat pada dasarnya melakukan tugas yang hampir sama. Sedangkan perbedaannya hanyalah dalam pelaksanaan hak asal-usul, terutama menyangkut pelestarian sosial Desa Adat, pengaturan dan pengurusan wilayah adat, sidang perdamaian adat, pemeliharaan ketenteraman dan ketertiban bagi masyarakat hukum adat, serta pengaturan pelaksanaan pemerintahan berdasarkan susunan asli.
Desa Adat memiliki fungsi pemerintahan, keuangan Desa, pembangunan Desa, serta mendapat fasilitasi dan pembinaan dari pemerintah Kabupaten/Kota. Dalam posisi seperti ini, Desa dan Desa Adat mendapat perlakuan yang sama dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Oleh sebab itu, di masa depan Desa dan Desa Adat dapat melakukan perubahan wajah Desa dan tata kelola penyelenggaraan pemerintahan yang efektif, pelaksanaan pembangunan yang berdaya guna, serta pembinaan masyarakat dan pemberdayaan masyarakat di wilayahnya. Dalam status yang sama seperti itu, Desa dan Desa Adat diatur secara tersendiri dalam Undang-Undang ini. Desa Adat pada prinsipnya merupakan warisan organisasi kepemerintahan masyarakat lokal yang dipelihara secara turun-temurun yang tetap diakui dan diperjuangkan oleh pemimpin dan masyarakat Desa Adat agar dapat berfungsi mengembangkan kesejahteraan dan identitas sosial budaya lokal. Desa Adat memiliki hak asal usul yang lebih dominan daripada hak asal usul Desa sejak Desa Adat itu lahir sebagai komunitas asli yang ada di tengah masyarakat. Desa Adat adalah sebuah kesatuan masyarakat hukum adat yang secara historis mempunyai batas wilayah dan identitas budaya yang terbentuk atas dasar teritorial yang berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat Desa berdasarkan hak asal usul.
Kesatuan masyarakat hukum adat yang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan pusat kehidupan masyarakat yang bersifat mandiri. Dalam kesatuan masyarakat hukum adat tersebut dikenal adanya lembaga adat yang telah tumbuh dan berkembang di dalam kehidupan masyarakatnya. Dalam eksistensinya, masyarakat hukum adat memiliki wilayah hukum adat dan hak atas harta kekayaan di dalam wilayah hukum adat tersebut serta berhak dan berwenang untuk mengatur, mengurus, dan menyelesaikan berbagai permasalahan kehidupan masyarakat Desa berkaitan dengan adat istiadat dan hukum adat yang berlaku. Lembaga adat Desa merupakan mitra Pemerintah Desa dan lembaga Desa lainnya dalam memberdayakan masyarakat Desa. UU 6 tahun 2014 menonjolkan aspek kearifan lokal sebagai asas yang menegaskan bahwa di dalam penetapan kebijakan harus memperhatikan kebutuhan dan kepentingan masyarakat Desa, karena itu UU amat mementingkan desa adat sebagai ulayat atau wilayah adat adalah wilayah kehidupan suatu kesatuan masyarakat hukum adat, dengan syarat bahwa desa adat selaras dengan perundang-undangan NKRI, desa adat wajib mengakomodasi keberagaman dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa Adat yang tidak boleh mendiskriminasi kelompok masyarakat tertentu.
Menurut Penjelasan UU 6, Negara Kesatuan Republik Indonesia terdiri atas hampir 73 ribu desa atau sebutan lain setara desa, sementara wikipedia mencatat bahwa jumlah desa telah mencapai 79.075 desa. Apabila hampir sebanyak 73 ribu desa tersebut dalam kondisi produktif, sehat dan bertumbuh, maka NKRI sehat dan berkembang. Apabila produktivitas desa modern meningkat maka PDB dan pendapatan perkapita regional akan berkembang, diramalkan devisa ekspor hasil pertanian & kelautan meningkat dahsyat akan memperkuat ketahanan ekonomi dan fiskal NKRI.
Karena UU Desa, maka desa terangkat dari obyek pembangunan- sekarang menjadi subyek pembangunan. Diramalkan bagian APBN dan APBD untuk pembangunan sarana dan prasarana desa serta dusun pada tahun-tahun yang akan datang akan meningkat secara signifikan, berkonsekuensi pertanggungjawaban keuangan desa perlu ditingkatkan. Kepala Desa mendapat gaji dari negara.
Kepemerintahan NKRI terbagi menjadi pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pada tataran pemerintah daerah, selain kebupaten/kota mandiri sebagai pemerintah daerah otonom, pemerintah desa juga mempunyai ciri otonomi tertentu dalam pengelolaan dan pengaturan desa masing-masing.
Presiden NKRI memimpin kepemerintahan Pemerintah Pusat dibantu Wakil Presiden NKRI dan para Menteri, dengan catatan Menteri Dalam Negeri dibantu Gubernur Provinsi sebagai interface pemerintah pusat dengan pemerintah daerah otonom. Menteri yang menangani Desa saat ini adalah Menteri Dalam Negeri. Dalam kedududukan ini Menteri Dalam Negeri menetapkan pengaturan umum, petunjuk teknis, dan fasilitasi mengenai penyelenggaraan pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa.
Bupati/walikota memimpin pemerintah daerah otonom dibantu perangkat organisasi kabupaten/kota mandiri seperti sekretariat, para camat, lurah dan kepala desa. Sebuah desa mungkin terbagi menjadi beberapa dusun.
Tahap selanjutnya otonomi daerah berlangsung. Sejak 1 Januari 2014 seluruh Kabupaten/Kota bertanggungjawab akan pengelolaan Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2), berhak menentukan tarif PBB-P2 sendiri sampai batas maksimum nasional sebesar 0,3% tersesuai kondisi perekonomian dan tingkat hidup daerah masing-masing, meningkatkan PAD dan sebagian tentu saja dialirkan kembali dalam bentuk belanja kabupaten dalam RAPBD untuk maslahat sebesar-besarnya desa dan dusun dibawah kabupaten tersebut.
Sebuah desa adalah sebuah yuridiksi hukum berkegiatan utama pertanian, ekstraktif dan pengelolaan sumber-daya-alam lain, sebuah kawasan yang digunakan sebagai tempat pemukiman perdesaan, pelayanan jasa kepemerintahan desa, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi. Rencana Undang-Undang tentang Desa menjelaskan bahwa desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa adalah sebuah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah desa.
Dalam batas wilayah hukum desa tersebut masyarakat desa tersebut berwewenang untuk mengatur & mengurus sendiri kepentingan masyarakat setempat sambil tetap merujuk pada hukum nasional dan program pembangunan nasional.
Pengaturan dan pengurusan sendiri tersebut harus berdasar (1)hak asal-usul yang masih hidup & berlaku, (2)adat istiadat yang masih hidup & berlaku, (3)kondisi unik sosial dan budaya setempat yang hidup & masih berlaku (4)tersesuai perkembangan masyarakat dan (5)prinsip NKRI yang diramu secara unik menjadi peraturan perundang-undangan desa itu sendiri diumumkan sebagai Berita Daerah (sejalan dengan berita negara, lembaran negara NKRI).
Sebagai sebuah yuridiksi hukum seolah-olah miniatur mandiri kepemerintahan NKRI, sebuah desa membentuk Badan Permusyawaratan Desa, membangun Peraturan Desa sebagai peraturan-per-undang-undangan desa tersebut yang ditetapkan oleh Kepala Desa setelah dimusyawarahkan bersama Badan Permusyawaratan Desa (BPD), didalamnya termaktub peraturan desa tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJM Desa) dan diturunkan menjadi rencana pembangunan tahunan desa yang disebut Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKP Desa) terintegrasi keatas dengan program-program pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang masuk ke desa tersebut (Pasal 66), terintegrasi kebawah dengan dusun-dusun (Pasal 67). Desa terbentuk melalui sebuah ketetapan hukum pembentukan desa dengan status desa. Sebuah desa terdiri atas beberapa dusun. Pemerintah desa atau yang disebut dengan nama lain adalah kepala desa dan perangkat desa. Perangkat desa adalah Badan Permusyawaratan Desa atau sebutan lain, Lembaga Kemasyarakatan Desa atau sebutan lain, dan Lembaga Adat Desa dilengkapi dengan sebuah Badan Usaha Milik Desa (BUM Desa).
Jumlah seluruh kelurahan sekitar 8.000 kelurahan, sedang jumlah desa disekitar 73.000 desa sampai 79.075 desa. Kelurahan dan desa mempunyai persamaan dan perbedaan sebagai berikut.
·         Pertama, pada umumnya, sebuah kota terbagi menjadi beberapa kecamatan dan kelurahan, sebuah kabupaten terbagi menjadi beberapa kecamatan dan desa. Sebuah kecamatan dapat terdiri atas beberapa kelurahan dan desa.
·         Kedua, desa dan kelurahan berada di bawah pengawasan dan pembinaan pemerintah kabupaten/kota, yang dapat dilimpahkan kepada Camat (Pasal 84(2), keduanya–desa dan kelurahan-mendapat alokasi atau bagian APBN dan APBD.
·         Ketiga, sebuah desa lebih mempunyai karateristik kegiatan pertanian dan ekstraktif, sedang sebuah kelurahan lebih mempunyai karakteristik industri yaitu bahwa 70% penduduk mempunyai mata percaharian nonpertanian. Sebuah desa baru layak dibentuk apabila telah berusia lima tahun atau lebih, apabila desa tersebut berpenduduk dan berkeluarga dalam jumlah minimum tertentu sesuai nama pulau. Desa dapat berubah status menjadi kelurahan apabila terjadi kenaikan jumlah penduduk & keluarga dan/atau perubahan mendasar struktur perekonomian berbasis pertanian dan ekstraktif menjadi perekonomian berbasis industri.
·         Keempat, selain kebupaten/kota mandiri sebagai pemerintah daerah otonom, pemerintah desa juga mempunyai ciri otonomi tertentu. Desa mempunyai status lebih mandiri dibanding kelurahan, pengelolaan desa berbasis masyarakat, karena itu desa berwewenang mengatur & mengurus kepentingan masyarakat desa (Paragraf 15) ditambah wewenang limpahan kabupaten/kota dan UU(Pasal 16), desa berhak menentukan struktur organisasi dan tata-kerja, memilih kepala desa, BPD, perangkat desa seperti sekretaris desa, pelaksana teknis dan perangkat kewilayahan (Pasal 23), memiliki RPJP, RPJM, memiliki semacam DPRD Kabupaten, kepala desa berwewenang sebagai hakim-perdamaian dengan keputusan final dan mengikat (Paragraf 24(6), desa memiliki aset desa dan sumber pendapatan dan berwewenang menentukan belanja pemerintah desa sendiri. Karena mandiri, Desa bersama BPD dapat berprakarsa melebur desa menjadi kelurahan, berarti secara sukarela melepas status desa mandiri demi kepentingan masyarakat umumnya, demi peningkatan kualitas hidup, pelayanan dan pemberdayaan masyarakat khususnya, menjaga kesatuan & persatuan NKRI (Pasal 21) umumnya, meningkatkan pelayanan dasar & kehidupan demokrasi khususnya.
·         Kelima, kepala desa dipilih warga desa, ditetapkan oleh Bupati/walikota dan disumpah (Pasal 25 dan 45(3)). Para eksekutif desa ditetapkan atau diangkat dan diberhentikan oleh bupati/walikota, sekretaris daerah dan camat. Ciri pembatas otonomi desa dalam tataran NKRI yang lain adalah bahwa bupati/walikota membentuk panitia pemilihan kepala desa dengan pembiayaan APB Desa bersumber dari APBD kabupaten/kota, kepala desa dapat diberhentikan sementara oleh Bupati/walikota apabila menjadi terdakwa pidana dan diganti sementara oleh pejabat kepala desa yang dipilih dari PNS kabupaten/kota (Pasal 32), disidik (Pasal 33) berdasar persetujuan tertulis bupati/walikota, diberhentikan oleh bupati/walikota apabila terdakwa terbukti bersalah dan mendapat keputusan tetap dari pengadilan sebagai terpidana, dipulihkan kepada jabatan semula yang belum habis dijalani, apabila tidak terbukti bersalah dan dinyatakan bebas oleh pengadilan (Pasal 29). Sekretaris desa diangkat/diberhentikan sekretaris kabupaten/kota atas-nama bupati/walikota(Pasal 35), sedang SDM perangkat desa selebihnya diangkat dan diberhentikan oleh Camat (Pasal 36) mungkin berdasar usulan kepala desa (Pasal 24(3)a). Pakaian dinas serta penghasilan tetap kepala desa dan perangkat desa ditetapkan dalam APB bersumber dari APBD kabupaten/kota. Tatacara pemilihan dan pemberhentian kepala desa akan diatur dalam sebuah peraturan pemerintah.
·         Keenam, kepala desa adalah pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan desa (Pasal 61) secara implisit bertanggungjawab atas realisasi anggaran desa, perbendaharaan desa, akuntansi dan pelaporan LK desa.
Desa dapat berubah menjadi kelurahan atau sebaliknya, kelurahan dapat berubah status menjadi desa atau desa dan kelurahan (Pasal 13). Apabila desa berubah status menjadi kelurahan, maka seluruh barang milik desa dan sumber pendapatan pemerintah desa dialihkan menjadi kekayaan pemerintah kabupaten/kota (Pasal 11(1)) untuk kepentingan masyarakat dan pendanaan menjadi bagian anggaran pendapatan & belanja daerah kabupaten/kota mandiri (Pasal 11(3)).
Sebuah kabupaten atau kota mandiri terbagi menjadi beberapa kecamatan, terbagi lagi menjadi beberapa kelurahan. Camat adalah perangkat daerah kabupaten /kota, lurah adalah perangkat kerja kecamatan. Disamping kecamatan dan kelurahan, sebuah kabupaten/kota dibagi-bagi menjadi beberapa desa dengan pengelolaan berbasis masyarakat (Pasal 2). Perencanaan strategis kabupaten/kota disusun berdasar perencanaan pembangunan desa, sedang perencanaan desa berbasis perencanaan dusun (Pasal 67) adalah hampiran bottom-up-planning, ditambah berbagai program pemerintah pusat cq berbagai kementerian yang dianggarkan khusus untuk desa, program pemerintah provinsi untuk pembangunan kawasan perdesaan lintas kabupaten (Pasal 71) berciri top-down-planning, demikian pula program pemerintah daerah kabupaten untuk pembangunan kawasan perdesaan dalam sebuah kabupaten tersebut sendiri (Pasal 70) melalui peraturan bupati/walikota yang terintegrasi dengan program pembangunan kawasan perdesaan lintas kabupaten pada tingkat provinsi berciri top-down & bottom-up planning. Integrasi pembangunan lintas kabupaten dan kawasan perdesaan lintas kabupaten oleh pemerintah provinsi adalah top-down-planning, dimaksud untuk mengembangkan sinergi antar desa pada umumnya, pada khususnya untuk membangun daya saing NKRI dan skala ekonomi industri-industri secara nasional. Desa diupayakan tidak menjadi ajang perebutan kekuasaan partai politik, NKRI membutuhkan kepala desa bukan politisi (Pasal 25 d dan h), bervisi modern dan berani yang dipilih penduduk desa melalui pemungutan suara (Pasal 43). Integrasi dan kerjasama prakarsa sendiri dapat dilakukan antar-desa tanpa program provinsi dan kabupaten adalah hampiran lateral-planning, prakarsa desa membuat kerjasama dengan pihak bukan pemerintahan, program memikat investor dan semacamnya dalam upaya meningkatkan pendapatan asli desa (Pasal 24(4)) dan produk domestik bruto desa (GDP desa) adalah hampiran business-planning dan international planning (Pasal 75).
UU 6 tahun 2014 tersebut menyatakan bahwa mengingat kedudukan, kewenangan, dan Keuangan Desa yang semakin kuat, penyelenggaraan Pemerintahan Desa diharapkan lebih akuntabel yang didukung dengan sistem pengawasan dan keseimbangan antara Pemerintah Desa dan lembaga Desa. Lembaga Desa, khususnya Badan Permusyawaratan Desa yang dalam kedudukannya mempunyai fungsi penting dalam menyiapkan kebijakan Pemerintahan Desa bersama Kepala Desa, harus mempunyai visi dan misi yang sama dengan Kepala Desa sehingga Badan Permusyawaratan Desa tidak dapat menjatuhkan Kepala Desa yang dipilih secara demokratis oleh masyarakat Desa.

BAB III

Penutup

3.1 Simpulan

Dari Pemaparan diatas dapat kami simpulkan bahwa :
1.      Sejarah perubahan Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah dari tahun 1957 sampai dengan sekarang dapat digambarkan sebagai berikut :
a.       Pada Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957 diterapkan sistem Desentralisasi
b.      Pada Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965 diterapkan sistem Sentralisasi
c.       Pada Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 diterapkan sistem Sentralisasi
d.      Pada Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 diterapkan sistem Desentralisasi
e.       Pada Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 diterapkan sistem Desentraisasi namun dalam pelaksanaannya masih setengah hati.
2.      Pengaturan Kewenangan Pemerintah Daerah terkait dengan perubahan undang-undang tentang Pemerintahan Daerah selalu mengalami perubahan sesuai dengan Sistem Pemerintahan yang diterapkan pada saat undang-undang bersangkutan diberlakukan.
3.      Desa adalah perwujudan sejati NKRI, peningkatan kesejahteraan desa (bukan sekadar kota besar) adalah perwujudan demokrasi ekonomi bagi rakyat banyak, GDP desa dan income percapita desa adalah perwujudan tingkat hidup sejati bangsa Indonesia (bukan sekadar UMR), karena itu modernisasi produktif (bukan konsumtif), sistem demokrasi serta rerata pendidikan angkatan kerja di desa adalah segalanya.
Desa adalah perwujudan kebijakan otonomi daerah paling sejati melanjutkan otonomi tataran kabupaten/kota mandiri, dan UU Desa memfasilitasi berbagai persyaratan sebagai entitas pelaporan Laporan Keuangan.
Reformasi keuangan sejati NKRI adalah laporan keuangan desa berbasis Standar Akuntansi Pemerintahan, utopia Indonesia Baru adalah LK Desa Beropini WTP yang kemudian dikonsolidasi dan menjadi lampiran LK Kabupaten/Kota, karena Indonesia sejati adalah kumpulan desa-desa.
Menurut kami UU Desa masih harus dilengkapi berbagai peraturan pelaksanaan dan kebijakan lanjutan untuk memecahkan hambatan isolasi desa karena hukum adat, membangun hubungan positif dengan struktur pemerintahan supradesa (kecamatan, kabupaten/kota, provinsi dan pemerintah pusat), mendorong produktivitas melalui modernisasi industrialisasi desa berbasis hukum adat tanpa perlu berubah status menjadi kelurahan, modernisasi sistem keuangan masyarakat desa dan mendorong politik buka-pintu-desa & kemudahan akses penamam modal dari luar desa, memberi perlindungan demokrasi sehat dalam desa dan menghapus segala bentuk premanisme dalam desa, melindungi desa dari eksploitasi pihak pihak tertentu dalam dan luar desa, melepas birokrasi desa dari politik kontraproduktif berbagai partai politik, melepad ketergantungan desa pada APBN/APBD, pembangunan khusus desa miskin budaya dan sumber daya alam, dan mendorong kerjasama produktif antar desa, menahan transmigrasi, imigrasi dan urbanisasi yang berisiko mematikan sebuah masyarakat adat.

3.2  Saran


Menurut pendapat kelompok kami, dalam perjalanan bangsa Indonesia banyaknya perubahan yang terjadi, salah satunya dalam Undang-undang mengenai Pemerintahan daerah yang salah satunya mengatur dalam Otonomi Daerah.
Yang dimana pemerintah pusat melimpahkan wewenang kepada Pemerintahan daerah, dalam pelimpahan wewenang ini mengatur dalam Perda (Peraturan daerah) dan pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA). Akan tetapi dalam mengimplementasikan kedaerah terjadinya banyak permasalahan didaerah-daerah, dan masih banyaknya keraguaan atau setengah hati yang dilakukan pemerintah pusat kepada pemerintahan daerah.
salah satunya penyalahgunaan wewenang oleh kepala daerah, sehingga munculnya raja-raja kecil didaerah sehingga menjalankan otomi daerah terhambat dalam segi pelaksanaanya, banyaknya perdebatan dari pakar-pakar politik yang dimana dengan adanya Otomi daerah ini banyak daerah yang merasakan kecemburuan terhadap daerah-daerah yang memiliki Otonomi daerah maupun khusus.
















Daftar pustaka

Perundang-undangan :
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
http://www.fakultashukum-universitaspanjisakti.com/informasi-akademis/bahan-kuliah/41-sejarah-undang-undang-pemerintahan-daerah.html

0 komentar: